Yunita Amraeni
Fokus kasus penyakit saat ini sudah mulai bergeser dari usia produktif ke kesehatan anak. Stunting merupakan salah satu isu nasional saat ini dengan target 14% penurunan stunting di tahun 2024. Stunting dengan gangguan pertumbuhan akibat minimnya asupan gizi baik pada masa kehamilan maupun masa golden age menyebabkan tubuh anak lebih pendek dari ukuran yang seharusnya sesuai usianya diharapkan dapat diatasi sehingga dapat mencetak generasi yang berkualitas.
Belum selesai permasalahan Stunting, muncul kasus gagal ginjal misterius yang disebut gangguan ginjal akut progresif Atipikal (GGPA). Ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) melaporkan ratusan kasus, bahkan diantaranya meninggal dunia yang tersebar di 16 propinsi di Indonesia pada tahun 2022 hingga penemuan kasus baru di tahun 2023. Dugaan awal penyebab GGAPA adalah konsumsi obat sirup sehingga di awal pemerintah melarang pemberian resep obat sirop pada anak, namun penelitian sampai saat ini masih terus dilakukan oleh BPOM dan kemenkes untuk penyebab yang pasti.
GGAPA mayoritas menyerang anak usia dibawah 5 tahun dan beberapa kasus dibawah usia 10 tahun. Penyakit ini terjadi secara tiba-tiba ketika ginjal tidak lagi dapat membuang limbah metabolisme dalam tubuh sehingga terjadi penumpukan. Gejala GGAPA yang paling sering adalah demam, nafsu makan menurun, kadang disertai diare, batuk pilek. Secara teoritis, gejala batuk dan demam ini tidak berpotensi memicu penyakit ini namun terjadi perburukan gejala berupa gejala yang menjadi ciri khas yaitu rasa sakit atau kesulitan saat buang air kecil serta frekuensi dan volume nya pun menurun drastis. Gejala lainnya bisa juga ditandai dengan adanya perubahan warna urin yaitu lebih keruh, adanya darah dan juga tampak berbusa disertai dengan nyeri perut dan mual muntah.
Isu GGAPA masih marak, kini berganti diabetes pada anak. Data dari unit kerja koordinasi (UKK) endokrinologi ikatan dokter anak Indonesia mencatat kasus diabetes melitus Tipe 1 pada anak mengalami peningkatan 70 kali lipat sejak tahun 2010 hingga tahun 2023. Anak anak pengidap DM tipe I ini disebut tak dapat memproduksi insulin dalam pangkreasnya hingga bergantung pada injeksi insulin. Penyebab utama adalah life style konsumsi makanan dan minuman yang banyak mengandung gula.
Siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab dengan kesehatan anak? Apakah ada pola asuh yang salah dari orang tua? Jika menilik faktor peyebab, baik stunting, GGAPA dan DM semuanya bersumber dari pola asuh diet pada anak, terutama dalam hal pemilihan dan pengawasan konsumsi makanan dan minuman anak. Pan American Health Organization (PAHO) mengungkapkan pola asuh menjadi faktor paling dominan terhadap pemenuhan gizi anak. Gizi yang cukup berperan penting dalam optimalisasi pertumbuhan dan pencegahan penyakit pada anak.
Apa yang harus dilakukan agar pola asuh diet menjadi adekuat dan menjadi perilaku yang tepat oleh para orang tua?. Program terkait Perubahan perilaku tidak dapat diintervensi secara instan. Berdasarkan teori PRECEDE-PROCEED, model perencanaan program kesehatan berbasis kebutuhan masyarakat ditujukan untuk perubahan perilaku dengan mempertimbangkan faktor predisposisi, penguat dan pendukung.
Secara spesifik terkait perubahan tindakan pola asuh diet, Pertama tentu saja orang tua terlebih dahulu harus memiliki pemahaman yang cukup tentang bagaimana pemberian dan pemilihan konsumsi diet yang tepat pada anak, bahkan dimulai pada saat kehamilan sampai usia golden age pada anak. Seharusnya pemberian pemahaman ini bukan pada saat orang tua terutama ibu mengalami kehamilan. Namun sejak usia dini (remaja) sudah dipersiapkan bekal informasi tentang gizi dan kesehatan reproduksi. Fakta menunjukkan sebagain besar pasangan usia subur menikah tanpa dibekali pengetahuan tentang kesehatan PUS maupun kesiapan merawat anak. Apalagi dengan maraknya Usia Nikah Dini di usia remaja dengan tingkat kematangan reproduksi yang belum optimal ditambah lagi dengan belum ada kesiapan yang matang saat hamil dan beberapa kasus baby blues syndrom.
Fenomena lain terjadi pada pola asuh diet terutama pada “new mom” setelah melahirkan anak pertama. Tanpa pemahaman yang cukup dan effort dari ibu dalam pemilihan dan pengawasan konsumsi makanan anak, cenderung memanjakan sesuai dengan pilihan makanan anak (Picky Eating). Study oleh Pereboon Josine (2023) menunjukkan perilaku picky eating pada anak dapat menjadi variabel penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Kedua, dukungan keluarga terutama pasangan dapat menjadi nilai plus untuk penerapan pola asuh diet yang tepat. Pemberian pemahaman tentang pola makan yang tepat bukan hanya untuk ibu, namun juga pada keluarga terutama mertua/orang tua dan pasangan. Tidak jarang pada wilayah rural masih kental dengan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat. Masih kita temukan beberapa bayi atas anjuran nenek/orang yang dituakan yang sudah diberikan MP ASI sebelum berusia 6 bulan. Ataupun kepercayaan pada pantangan makanan tertentu yang tidak boleh diberikan pada anak maupun pada saat kehamilan, padahal makanan tersebut mengandung zat gizi yang diperlukan.
Ketiga, akselerasi pelayanan kesehatan dengan pemberdayaan kader posyandu sebagai perpanjangan tangan perlu ditingkatkan sehingga ada tindakan edukasi pola asuh nutrisi, pendampingan pembuatan dan pemilihan bahan makanan bergizi dan pengawasan maksimal untuk peningkatan kesehatan ibu dan anak. Perlu sinergitas antara semua pihak untuk mengoptimalkan program pelayanan ke masyarakat.
0 Komentar